Senin, 07 Desember 2009

Tentara & Preman Jaga Hutan, Menhut Tak Setuju

JAKARTA - Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan menyatakan bahwa untuk menjaga hutan dari penebangan liar, bukan zamanrrya lagi dipagari kawat. Yang lebih tepat untuk saat ini, hutan harus dipagari dengan mangkok.
Mangkok yang dimaksud Menhut adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat yang berada di kawasan dan sekitar hutan. Bila masyarakat di situ hidup sejahtera, secara otomatis mereka yang akan menjaga hutan.
"Artinya kalau masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan sejahtera, bisa menyekolahkan anaknya, bisa naik haji, makan enak, hutan akan terjaga dengan sendirinya," kata Zulkifli Hasan pada acara pelantikan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI) di kantor Departemen Kehutanan, Jakarta, Karnis (3/12).
Zulkifli mengatakan, menjaga hutan tidak bisa lagi dengan mengandalkan jasa dari tentara dan preman. "Zaman sudah berubah, makanya kita juga harus berubah. Kalau sekarang hutan dijaga dengarr bedil, bedilnya akan dimakan bukan lagi dipatahkan," ucapnya.Menteri dari PAN ini menegaskan, siapapun boleh memiiiki lahan sawit hingga ratusan hektar. Namun yang tak kalah penting sang pemilih harus punya modal dan marnpu mengelolahnya. Kata dia, yang salah jika rakyat di sekitar lahan itu dibiarkan menderita sementara ada. seseorang yang hanya mengantongi selembar izin bisa menebang ribuan kayu seenaknya.
"Menebang satu pohon masuk penjara. Ini tidak adil, terkutuk kita kalau seperti itu. Makanya prograrn kita harus berpihak kepada rakyat," kata mantan anggota DPR dari daerah pemilihan Lampung ini.
Dengan kondisi pengrusakan lahan yang terus terjadi, Zulkifli rnemperkirakan pada tahun 2020 Indonesia akan mengaiarni zero illegal logging. "Penebangan hutan secara liar akan zero karena sudah tidak ada lagi yang bisa ditebang, tambahnya.
Karena itu, kata Zulkifli, program yang dulunya tebang pilih harus diubah dengan menanam dan terus menanami pohon. " Apalagi dengan kondisi tanah Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif dibanding negara lain yang memungkinkan untuk kita menamam. Orang yang hidup di padang pasir saja mau menanam, apalagi kita yang hidup di tanah yang subur," ujarnya. Zulkifli rnenjelaskan masih tersisa sekitar 130 juta hektar hutan yang masih terjaga saat ini. "Namun kalau kita ke lapangan, rasa-rasanya itu sudah berkurang dan sudah tidak sampai lagi cetusnya.
Sementara itu, Ketua AHTRMI, Basyrudin Siregar berjanji akan menjernbatani rnasyarakat untuk mensukseskan program hutan tanaman rakyat. Tahun 2010, AHTRMI akan memprogramkan sebanyak 500 ribu hektar lahan klitis yang akan ditanami daiarn bentuk tanaman berkayu yang tidak berbuah dan berbuah. (awa/jpnn : Bpost,5 Desember 2009)


Perdagangan Karbon Perlu Payung Hukum

Dari Sisa 5 Juta Ha Hutan Primer Hanya Separuh Saja yang Siap Dijual

PALANGKA RAYA-Potensi hutan primer Kaltengyang masih tersisa sekitar 5 juta hektar merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun,sejauh ini harapan masyarakat Kalteng untuk mendapatkan keuntungan hasil hutan melalui perdagangan karbon (Carbon Trading) belum bisa terwujud. Pasalnya, hingga sekarang belum ada ketentuan perundang-udangan yang mengatur tentang perdagangan karbon. "Memang sih rencana dimulainya perdagangan karbon baru pada 2012 mendatang, tetapi sebelum itu tentu harus ada payung hukumnya" kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kalteng Drs Moses Nicodemus,MM saat disambangi Kalteng Pos di Bandara Tjilik Riwut, Rabu (21 l2). Menurut Moses Nicodemus, keberadaan payung hukum ini sangat strategis dalam konsep perdagangan karbon. Oleh karena itu hendaknya pula perumusan payung hukum harus pula dilakukan secara lintas departemen. Dalarn hal ini tidak hanya oleh Departemen Kehutanan saja, melainkan pula departemen,lainnya seperti Kantor Kementrian Iingkungan Hidup (KLH). Selama ini kawasan hutan di wilayah Kalteng telah banyak berjasa dalam mengurangi pencemaran lingkungan dari emisi gas buang CO2 dari negara-negaramaju. Sebagai timbal baliknya, seharusnya negera-negara maju harus kompensasi kepada negara yang masih memelihara kawasan hutannya. "Kompensasi ini bisa berupa dana bantuan langsung dari negara-negara penghasil gas buang, namun bisa pula dalam bentuk upaya pengurangan produksi gas buang melalui berbagai program yang dilaksanakan sendiri oleh negara maju,"ungkap Moses Nicodemus. Diungkapkan Moses, secara umum kawasan hutan primer di Kalteng yang tersisa masih sekitar 5 juta hektar. Namun dari jumlah tersebut hanya sekitar separuhnya saja dapat dijual. Sedangkan selebihnya adalah sebagai kawasan hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. "Mengapa hanya separuhnya saja yang bisa dijual? Alasanya bahwa masyarakat Kalteng masih membutuhkan lahan yang sangat luas untuk melakukan pembangunan. Kalau sisa hutan primer itu semuanya dijual, maka konsekuensinya rnasyarakat Kalteng tidak boleh menebang satu batang pohonpun yang berada di dalam kawasan hutan primer," beber Kepala BLH. (tur, sumber : Kalteng Post,3 Desember 2009)

Minggu, 06 Desember 2009

US$13.3 million in new funds for tropical forests

Thematic programmes attract additional funding; 9 new projects launched; Work programme agreed
[The incoming 2010 ITTC Chair Daniel Birchmeier (Switzerland)
congratulates the outgoing Chair Ambassador Michael Maue (PNG) on the successful closing of the 2009 ITTC Council Session. Photo: K. Sato/ITTO]. The International Tropical Timber Council announced today funding of US$3.5 million towards its recently approved thematic programs, including $2 million in initial funding for programs on community forest enterprises and trade and market transparency. The ITTC also announced an additional US$5.8 million for new projects and activities for the conservation and sustainable management, use and trade of tropical forest resources, which together with an announcement by Switzerland that it would make a US$4 million replenishment of its ITTO Trust Fund (to be used to fund future projects and activities) brought total pledges at the session to US$13.3 million.

The Council is the governing body of the International Tropical Timber Organization (ITTO). It meets at least once a year to discuss a wide-ranging agenda aimed at promoting sustainable tropical forest management and the trade of sustainably produced tropical timber. The funds pledged this week at its 45th Session are in addition to the US$2.2 million committed in the first half of the year, bringing the total pledged in 2009 to US$15.5 million.

This Council session financed 9 projects and 1 pre-project for a total amount of US$3.5 million, including a project in PNG to encourage customary landowners to reforest grasslands by planting high value tree species. Funds were also provided for projects to assess and develop management plans for typhoon affected mangroves in Myanmar, to promote a sustainable wood flooring industry in Brazil, to provide a silvicultural tool kit for industries and communities in Ghana for managing high value African mahogany, and to promote sustainable rubber wood utilization in Indonesia.

Council also adopted ITTO’s Biennial Work Programme for 2010-11 at this session and approved US$2.3 million in new or additional funding for activities contained in it. These included an activity to promote environmental education for children, another for an international conference on transboundary biodiversity conservation reserves, and an initiative to showcase forest industry technologies developed under ITTO projects. Funds were provided to assist countries in reporting progress in sustainable forest management based on ITTO’s criteria and indicators, and were also pledged to promote implementation of ITTO’s recently reformulated biodiversity conservation guidelines. Additional funding was pledged for ITTO’s on-going program to enhance members’ ability to implement CITES listings of tropical timber species. The Freezailah Fellowship Fund was also topped up by Council, to allow this valuable program to continue offering awards to deserving candidates.

The funding pledged to the thematic programmes at this session included additional funds of US$923,000 pledged to the programme on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (TFLET) and US$575,000 to the programme on Reducing Deforestation and Forest Degradation and Enhancing Environmental Services in Tropical Forests (REDDES). These pledges bring the total funding pledged to these programs to nearly US$6 million and US$4.4 million, respectively. The initial funding of US$1 million each pledged to the programmes on Community Forest Management and Enterprises and Trade and Market Transparency will allow activities to commence soon under them. Information on the thematic programmes (including calls for proposals and information on activities funded under them) is regularly updated on ITTO’s web site.

The Council also reviewed the status of ratification by members of the International Tropical Timber Agreement, 2006 during its session. The entry into force of this successor agreement to the Organization’s current governing treaty (ITTA, 1994) has been delayed due to the slow pace of ratification by members. Only 25 of 60 current members have taken the necessary steps to accede to the new agreement to date, but Council noted that several other countries were well advanced in the process of ratification and accession. It agreed to extend the ITTA, 1994 and to review this issue again at its session in 2010.

Donors at this session were the governments of Japan, Switzerland, the UK, the USA, Norway, Finland, Korea and Sweden. Funds were also provided by the Japan Lumber Importers’ Association and other private Japanese donors.

The next session of the ITTC will be from 13-18 December 2010 (to be confirmed) in Yokohama, Japan. The Council also decided that its session in 2011 would be in Guatemala City, Guatemala and that it would also consider holding its 2012 meeting in a tropical producer country.

Descriptions of all newly funded projects and activities will be published in the next edition of ITTO’s Tropical Forest Update.


Daily coverage of the 45th ITTC Council Session by the Earth Negotiations Bulletin (ENB)

SBY Respon Keinginan RTRWP Kalteng


PALANGKA RAYA - Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespon positif sej umlah permasalahan yang disampaikan Gubemur Kalteng Agustin Teras Narang. Pada malam ramah tarnah dengan para gubemur se-lndonesia anggota Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Aula Jayang Tingang, tadi malam (2/12), SBY menjawab satu demi satu persoalan yang disampaikanTeras Narang. Mulai dari permasalahan listrik, RTRWP dan persoalan lainnya.
Mengenai listrik, SBY memberikan kepada gubemur untuk mengatasi krisis listrik di Indonesia. Menurutnya, krisis listrik hampir terjadi secara merata. Karena itu ia pun mengajak para gubemur untuk menghitung kebutuhan listik di wilayah masing-masing, supaya diketahui dengan pasti berapa kebutuhan yang harus dicukupi secara nasionai. "Di Palangka Raya ini, saya harap ada satu solusi untuk mempercepat pertumbuhan listrik di Indonesia. Setelah ini akan ada pertemuan lagi untuk membicarakan secara mendalam" ajak SBY, yang mengagendakan pertemuan secara intensif usai silaturahmi tersebut. Begitu pula kendala RTRWP, ujar SBY, hal itu bisa dicarikan solusinya dengan duduk satu meja. Termasuk salah satu tugas legislatif di pusat membahas kembali tentang undang-undang (UU) yang rnenyangkut soal kehutanan. Jangan sampai UU malah menghambat kesejahteraan rakyat. Dua permasalahan itu disampaikan Teras Narang. Menurut Teras Narang, ada hambatan investasi di Kalteng karena belum tuntasnya RTRWP sejak 2007, ditambah gagalnya proyek . pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 X 60 MW maka percepatan pembangunanpun belum bisa diupayakan secara rnaksimal. "Ada perbedaan persepsi antara Komisi IV (DPR RI, Red) dan Departernen Kehutanan tanpa memperhatikan perkembangan Kalteng," kata Teras.
Di hadapan kepala negara, Teras mencontohkan, bahwa Aula Jayang Tingang tempat berlangsungnya acara masuk sebagai kawasan hutan produksi dalam peraturan Dephut. Kenyataannya, kata Teras, kawasan ini sudah 30 tahun lalu berkembang rnenjadi kawasan perkantoran. Di dalarnnya ada kantor Gubernur Kalteng, Kejaksaan Tinggi Kalteng, Korem 102 Panjung, Kantor Pos, sampai Polda Kalteng. Menurut Teras Narang, akibat peraturan tersebut, ada kesan masyarakat Kalteng tugasnya hanya menjaga kawasan hutan namun tak mendapat kesempatan untuk berkembang dan memanjakan dirinya. "Sekiranya presiden berkenan, kami siap bersama-sama Menteri Kehutanan menyeiesaikannya dalam program 100 hari," ucapnya. Mengenai soal listrik, gubernur juga rnengatakan siap rnengatasi kebutuhan Kalteng dengan pola IPP (Independet Power Producer ) atau mendirikan pembangkit listrik berkekuatan 2 X 100 MW di mulut tambang. Jika diizinkan, katanya maka kalteng siap jadi lumbung energi listrik dan rnenyuplainya ke tanah Jawa melalui kabel bawah laut. SBY yang didampingi Ani Yudhoyono ini juga hadir bersama sejumlah menteri seperti Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mendagri Gamawan Fauzi, Mentan Suswono, dan Gubelnur DKI Jakarta Fauzi Bowo, selaku ketua APPSI. Ada pula Menko Polhukam Djoko Soeyanto, Menhut Zulkifli Hasan, Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad, Meneg BUMN Mustafa Abubakar, Menegpora Andi Mallarangeng, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi ESDM Jacobus Purwono, dan Jubir Presiden Julian A. Pasha.(viv/yon)(Sumber : Kalteng Post 3 desember 2009)